KENAIKAN HARGA PERTAMAX, “INSINUASI PENINGKATAN GAS EMISI”
Fajrin Hardinandar (Dosen Universitas Muhammadiyah Bima) |
Membuka Kembali laporan berjudul “Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability” oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang diterbitkan 28 Februari 2022 itu merupakan peramalan eskatologis yang mencengangkan. Dengan mempertimbangkan segala kecamuk yang dihadapi oleh bumi hingga laporan itu diterbitkan, IPCC menerangkan bahwa pada 2050 di Asia Tenggara setidaknya 3 miliar penduduk bumi akan mengalami kelangkaan air, 99% terumbu karang akan mati dan kita akan kehilangan 50% spesies flora-fauna. Sementara di Indonesia, kurang lebih 6% produksi beras akan menurun, 34 % dari kita akan hidup dengan kelangkaan air, Ikan-ikan akan berpindah dari wilayah tropis dan mengurangi produksi ikan nelayan sebesar 24%. Di sisi lain, laporan 10 tahun lalu yang diterbitkan dengan penuh optimisme oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Negara-negara di dunia akan mengalami trend ekspansi yang begitu signifikan di tahun 2050, tidak luput pula Indonesia. Penjabaran komparatif tersebut adalah sinyal ontologis atas kenyataan bahwa demi memuaskan birahi pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan indoktriner.
Negara-negara industri berbasis fosil penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK), negara berkembang yang membakar Hutan-hutan mereka demi perkebunan dan korporasi, para neo-lib yang memusuhi kaum antroposentris lingkungan dan kami yang over konsumtif adalah biang kerok dari semua petaka lingkungan yang sedang dan akan dihadapi oleh bumi. Pendekatan modernisasi ekologi dengan memanfaatkan momentum kebijakan negara adalah proton dari konsep imperatif kategoris. Meskipun kendati benar bahwa menanti pertaubatan manusia secara sukarela agar sadar akan ancaman krisis lingkungan merupakan aktivitas yang nyaris sia-sia, tapi kebijakan preventif memang tidak boleh diabaikan. Penerapan pajak karbon di Swedia misalnya telah berhasil menurunkan emisi sebesar 27% sejak diberlakukannya tahun 1991 sampai dengan 2021. Menariknya, penurunan emisi itu dibarengi dengan peningkatan Produk Domestic Bruto (PDB) sebesar 50%. Sebaliknya, di beberapa negara memang pajak emisi justru dianggap menambah beban hidup masyarakat. Contohnya saja, penerapan pajak emisi malah meningkatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kendaraan dan menurunkan daya beli masyarakat.
Di Indonesia sendiri reformasi subsidi energi memang sudah dilakukan sejak 2015 dengan menghapus subsidi premium dan 12 golongan dari list penerima subsidi listrik. Pelonggaran ruang fiskal sebesar 65% inheren dalam perlakuan reformasi subsidi. Meskipun demikian, realisasi subsidi energi diangka Rp 10 trilun pada Januari 2022 jauh lebih besar dibanding Januari tahun lalu yang hanya sebesar Rp 2,3 triliun. Dari angka subsidi yang fantastis tersebut, Pertamax tetap mendapat bagian subsidi sebesar Rp 3.500/liter dari harga pasar, bahkan dalam kondisi kenaikan harganya per 1 April 2022 lalu.
Kenaikan harga BBM Jenis Pertamax adalah respon dari lonjakan harga minyak mentah dunia yang merupakan dampak dari perang Ukraina-Rusia. Tentu saja, Rusia adalah pengekspor tersebar kedua minyak mentah dunia. Sanksi ekonomi politik atas invansi Rusia terhadap Ukraina yang diberikan PBB, dibalas dengan menahan ekspor minyak mentah oleh Rusia. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, meskipun mengalami kenaikan, harga pertamax masih berada di bawah harga pasar. Tentu ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan, “mengapa harga BBM domestik cenderung naik, namun tidak pernah turun meskipun harga minyak mentah dunia mengalami penurunan”. Momentum kenaikan harga BBM memang sepatutnya menjadi alat penyesuaian harga pasar secara gradual. Pilihan kebijakan publik atas pengurangan subsidi BBM kerap kali dianggap semiotik dari upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Dengan begitu euforia belanja subsidi dapat disalurkan pada belanja di sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan serta bantuan tunai tepat sasaran.
Kenaikan harga petamax mungkin tidak akan memberikan dampak besar bagi harga komoditas. Pasalnya, pengguna pertamax didominasi oleh kelompok elit dan pemilik mobil mewah. Lagipula, konsumsi pertamax hanya 17% dari total konsumsi BBM di kelas domestik. Tapi yang pasti akan terjadi adalah shifting konsumen dari pertamax ke pertalite karena gap yang cukup tinggi antara harga pertalite dan pertamax. Konsekuensinya, terjadi lonjakan permintaan pada BBM jenis pertalite. Kalau tidak cukup stock, partalite akan mengalami kelangkaan.
Menariknya, pergeseran konsumen dari pertamax ke pertalite berpotensi memperlambat rencana penurunan emisi CO2 ditengah upaya pemerintah untuk mengebut dokumen legal pemberlakuan pajak emisi di Juli 2022 mendatang. Beberapa lembaga memprediksi sekitar 15% - 20% pengguna pertamax akan bergeser ke pertalite. Kita tahu pertamax memiliki nilai oktan senilai 92 yang menyebabkan pertamax lebih ramah lingkungan ketimbang jenis BBM lainnya dengan nilai oktan dikisaran 88. Apabila sebanyak 20% konsumen pertamax beralih ke pertalite, maka insinuasinya yakni nilai emisi rendah yang harusnya disumbang oleh konsumen pertamax berpindah ke emisi yang dihasilkan dari penggunaan pertalite dengan kecenderungan nilai emisi yang lebih tinggi.
Dari sisi pendapatan, kita yakin bahwa masyarakat Indonesia didominasi oleh kelas menengah yang jumlahnya nyaris melebihi 100 juta jiwa. Mengikuti acuan Asian Development Bank (ADB), kriteria kelas menengah adalah mereka yang pengeluarannya antara $2-20 per hari, mereka yang dari sisi pendapatan berkecukupan dan mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kelompok ini tidak masuk dalam kelompok miskin atau kaya. Kaitannya dengan itu, saya hanya ingin menerangkan bahwa pengguna pertalite akan semakin bertambah karena adanya migrasi dari kelompok kelas menengah pengguna pertamax yang tentunya akan meningkatkan potensi peningkatan gas emisi CO2. Secara empiris, hasil analisis model ekonomi yang dibeberkan oleh Institute Essential Service Reform 2020 lalu mengungkap bahwa sebesar 30℅ gas emisi di Indonesia disumbang oleh sektor transportasi dari total emisi CO2, dimana sebesar 88% dari sektor tersebut disumbang oleh transportasi darat. Maka tentu tidak berlebihan jika abstraksi hipotesis saya mencurigai akan ada peningkatan emisi jika memang benar migrasi konsumen pertamax ke pertalite terjadi secara massive dan bertahan lama. Tentu kita dapat melakukan eksperimen laboratorium untuk meramalkan potensi kebenaran hipotesis tersebut atau bahkan menjadi bahan falsifikasi teoritik.
Namun sebagai epilog atas pengamatan falibilis yang telah dibeberkan sebelumnya, penting untuk kami mengajukan implikasi kebijakan. Pertama, Pemerintah bersama Pertamina harus mengatur skema pengawasan dan sanksi hukum yang represif bagi mobil dinas dan mobil mewah yang masih ngotot mengantri BBM subsidi. Peran serta mahasiswa, LSM dan media sebagai watch dog juga sangat menentukan. Kedua, penggunaan pertalite di beberapa daerah dengan pendapatan per kapita paling tinggi sebaiknya hanya diperuntukkan bagi kendaraan umum atau transportasi publik saja. Skema ini berfungsi untuk meminimalisir peluang migrasi konsumen pertamax ke pertalite yang dapat memicu peningkatan emisi, sekaligus mencegah kemungkinan kelangkaan pertalite. Secara dramatis, pala level internasional komitmen para produsen mobil dunia untuk mengubah produk mobil mereka menjadi kendaraan listrik adalah kulminasi dari moralitas kemanusiaan. Meskipun demikian, semua itu tergantung dari pengembangan teknologi, pendanaan riset dan inovasi, insentif pajak, ketersediaan sumber daya yang mumpuni dan tata kelola yang baik.
Penulis : Fajrin Hardinandar
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Bima
Alumni INDEF School of Political Economy
Tidak ada komentar
Posting Komentar