• Breaking News

    Pengawasan Partisipasi Lahirkan Pemilu Demokratis dan Berintegritas


    Oleh : Asrul Sani

    (Anggota Bawaslu Kota Bima: Kordiv Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa)


    Demokrasi merupakan sistem politik yang memberikan ruang bagi keadilan dan persamaan bagi semua warga negara. Sistem politik ini menjadi pilihan paling populer yang digunakan negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Ciri paling mendasar Negara demokrasi adalah keberadaan Pemilihan Umum (Pemilu), metode politik yang memberikan peluang bagi setiap anggota masyarakatnya untuk ikut mempengaruhi proses pengambilan kebijakan melalui sebuah kompetisi yang adil, jujur dan damai tanpa kekerasan. 
    Sekalipun bukan satu-satunya aspek dalam demokrasi, namun Pemilu merupakan satu bagian yang sangat penting, karena Pemilu berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/ atau mengenai sirkulasi elit secara periodik dan tertib (Solihah,dkk, 2018). Pemilihan umum merupakan suatu pagelaran yang dilaksanakan oleh suatu Negara yang mengakui dirinya adalah suatu Negara yang demokratis.           

    Di Indonesia pemilu diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan mengenai pemilu ini dikembangkan dari beberapa pasal. Pertama, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa syarat dari kedaulatan rakyat salah satunya adalah pemilu; Kedua, Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Dari pengertian tersebut dapat dikembangkan bahwa pemilu di Indonesia diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun; Ketiga, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945, anggota DPR dipilih melalui pemilu. Pasal ini ialah pasal yang paling jelas mengemukakan eksistensi pemilu; dan Keempat, Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 Susunan kedudukan DPR ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang yang mengatur adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

    Sebagai syarat utama terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal ialah
    Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat dalam rangka mengisi jabatan-jabatan pada suatu pemerintahan yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. “Dengan demikian dalam konsep demokrasi pemerintahan suatu negara merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (Jimly Asshiddiqie: 2011).

    Keterlibatan rakyat dalam bentuk demokrasi tersebut dilihat pada pelaksanaan Pemilihan Umum, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa: 

    Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
     
    Penyelenggaraan Pemilu akan berjalan dengan baik dalam setiap tahapan apabila mendapat pengawasan terutama pengawas partisipatif dalam Pemilu. Untuk mendorong partisipasi masyarakat memang diletakkan pada Bawaslu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, Bawaslu telah diberikan mandat dalam undang-undang untuk menjalankan fungsi pengawasan. Kedua, Bawaslu sebagai struktur yang terlembaga memiliki keterbatasan, khususnya personil dan struktur yang bertugas mengawasi. Ketiga, tantangan penyelenggaraan pemilu ke depan semakin kompleks, yakni kecenderungan hadirnya beragam pelanggaran pemilu.

    Penyelenggaraan pemilu yang demokratis membutuhkan partisipasi masyarakat. Partisipasi politik masyarakat dimaknai sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang secara sukarela untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (Budiarjo: 2010). Pemilu adalah sarana partisipasi politik warga negara sebagai bentuk nyata kedaulatan rakyat. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan melibatkan hak-hak masyarakat merupakan salah satu syarat yang perlu dipenuhi.

    Pelanggaran pemilu tidak hanya mengganggu kerja penyelenggara, tetapi juga hak politik warga negara. Pelanggaran Pemilu seakan-akan tidak bisa dihindarkan. Ini dibuktikan dari maraknya pelanggaran pemilu baik pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana, pelanggaran kode etik maupun pelanggaran undang-undang lainnya yang terjadi dalam setiap pelaksanaan pemilu maupun pemilihan. Bahkan pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur sistematis dan massif (TSM) juga terjadi. Bentuk pelanggaran tersebut secara nyata telah mengkhianati kedaulatan rakyat, mengkhianati suara pemilih dengan menjadikan suara pemilih menjadi tidak berarti.

    Mengingat kondisi itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan menemukan urgensinya. Pengawasan oleh masyarakat melengkapi fungsi dan tugas Bawaslu dalam mengontrol penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Dengan adanya keterlibatan masyarakat menunjukkan kelembagaan pengawas pemilu terus mengalami penguatan. Kondisi ini tentu menguntungkan dalam pengawalan proses penyelenggaraan pemilu, karena bentuk pelanggaran yang muncul semakin beragam dan meluas.

    Pengawasan pemilu merupakan proses sadar, sengaja, dan terencana sebagai hakikat demokratisasi. Pemilu yang dijalankan tanpa mekanisme dan iklim pengawasan yang bebas dan mandiri menjadikannya proses pembentukan kekuasaan yang rentan kecurangan. Hal itu membuat pemilu kehilangan legitimasinya dan pemerintahan yang dihasilkan sesungguhnya tidak memiliki integritas sekaligus akuntabilitas sejak pembentukannya. Berangkat dari pemahaman inilah, partisipasi pengawasan masyarakat merupakan kebutuhan dasar Pemilu 2019. Pengawasan merupakan keharusan, bahkan merupakan elemen yang melekat kuat pada tiap penyelenggaraan pemilu. Dan yang lebih penting lagi, pengawasan akan lebih maksimal dilakukan bersamaan dengan partisisipasi masyarakat yang kuat dan merata.

    Oleh karena itu, partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci suksesnya pelaksanaan Pemilu. Besar atau kecilnya partisipasi masyarakat sangat menentukan kualitas dari Pemilu. Partisipasi masyarakat dalam praktiknya memang beragam. Ada yang berupa partisipasi masyarakat dalam memilih, pendidikan pemilih, dan ada juga partisipasi dalam ranah keterlibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu.

    Partisipasi masyarakat muncul karena adanya kesadaran akan perlunya selalu membuka ruang bagi partisipasi rakyat dalam setiap proses politik di Republik ini. Landasan berpikirnya adalah semakin suatu peristiwa politik diwarnai partisipasi publik yang tinggi dan terjadi di berbagai tahapan, maka proses politik tersebut semakin mendekati demokrasi yang ideal. Dengan demikian, harapan akan terciptanya pemilu berkualitas, yakni pemilu yang jujur dan adil, dapat terwujud. Inilah sebuah ijtihad dalam rangka membangun kualitas demokrasi yang lebih baik guna memastikan terciptanya demokrasi yang terkonsilidasi.

    Partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu diharapkan dapat mewujudkan pemilu berlangsung secara demokratis, sehingga hasilnya dapat diterima dan dihormati oleh semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, terlebih oleh mayoritas warga negara yang memiliki hak pilih.

    Pada pelaksanaan Pemilu tahun 2019, Bawaslu Kota Bima telah melakukan langkah-langkah dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu seperti pembentukan kampung pengawasan di 5 Kecamatan di Kota Bima. Kampung pengawasan tersebut berada di Kelurahan Tanjung Kecamatan Asakota, Lingkungan Wadu Mbolo Kecamatan Rasanae Barat, Lingkungan Sigi Kelurahan Paruga Kecamatan Rasanae Barat, Lingkungan Bedi Kelurahan Manggemaci Kecamatan Mpunda, Lingkungan Waki Kelurahan Manggemaci Kecamatan Mpunda, Kelurahan Rontu Kecamatan Raba, dan Lingkungan Rade Kelurahan Lelamase Kecamatan Rasanae Timur.
     
    Selain membentuk kampung pengawasan Bawaslu Kota Bima juga melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pengurus Karang Taruna (FPKT) se Kota Bima. Selain itu Bawaslu Kota Bima membangun kerja sama dan kemitraan dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP).  Kerjasama tersebut diharapkan mampu membangun kesadaran dan kesamaan pemahaman dalam memberikan informasi dan edukasi kepada kelompok dan anggotanya serta masyarakat. Partisipasi masyarakat secara aktif dan kritis sangat diperlukan, karena tanpa peran dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu, maka akan menimbulkan tindakan-tindakan yang dapat mencederai pelaksanaan Pemilu.

    Pengawasan secara partisipatif pada Pemilu merupakan kewajiban semua pihak. Namun pada tataran implementasinya, kekuatan masyarakat yang tidak terlembaga akan mengalami beberapa kesulitan untuk mengawali langkah tersebut. Ketika masyarakat akan melangkah pada tataran partisipasinya melalui pengawasan, maka dibutuhkan pengetahuan dan keahlian atau keterampilan tentang kepemiluan, jenis-jenis pelanggaran Pemilu, dan bagaimana cara mengawasinya.
    Secara filosofis demokrasi selalu dicederai oleh munculnya berbagai masalah dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu, baik pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana, pelanggaran kode etik maupun pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu pelanggaran yang sering dibahas dan dibicarakan bahkan dialami langsung oleh masyarakat itu sendiri adalah praktik politik uang, namun pada kenyataannya tidak ada satupun laporan masyarakat yang masuk di Bawaslu Kota Bima. Partisipasi pengawasan masyarakat pada praktik politik uang sangat dibutuhkan, karena ini sangat sulit untuk diungkapkan oleh Bawaslu Kota Bima melainkan kesadaran dan partisipasi masyarakatlah yang akan mampu membongkar praktik politik uang yang selalu terjadi dalam pelaksanaan Pemilu.

    Secara sosiologis partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu pada Tahun 2019 di Kota Bima cukup rendah, sebagaimana data penanganan pelanggaran di Bawaslu Kota Bima pada Pemilu tahun 2019 Bawaslu Kota Bima hanya menerima 4 laporan dugaan pelanggaran pemilu dan melakukan penindakan sebanyak 7 temuan, ini menunjukan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan secara partisipatif pada pemilu tahun 2019. Meski hal itu bukan semata sebagai indikator keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu di Kota Bima. Secara yuridis pengaturan norma tentang partisipasi masyarakat sangat minim pada pemilu 2019. Peraturan Bawaslu terkait pengawasan partisipatif sendiri baru diundangkan pada tahun 2023 melalui Peraturan Bawaslu Nomor 2 tahun 2023 Tentang Pengawasan Partisipatif.

    Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu tahun 2019 masih sangat minim, dalam pasal 448 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum hanya mengatur partisi masyarakat dalam hal sosialisasi dan memberikan hak suara sedangkan pengaturan partisipasi dalam melakukan pengawasan belum diatur secara explisit baik pada Undang-Undang maupun Peraturan Bawaslu dan Peraturan KPU
    Bentuk pertisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan pada Pemilihan Umum tahun 2019 melaui forum warga dan pembentukan kampung pengawasan, membangun kemitraan dengan OKP seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Bima, Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII) Cabang Bima, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima, Forum Pengurus Karang Taruna (FPKT) Kota Bima, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bima. Melaksanakan sosialisasi dan pendidikan politik bersama kelompok masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh wanita, tokoh pemuda dan masyarakat umum.

    Lahirnya Peraturan Bawaslu Nomor 2 tahun 2023 tentang pengawasan partisipatif memberi ruang bagi Bawaslu untuk melaksanakan berbagi program inovatif dalam pengawasan partisipatif. Dimana dalam Perbawaslu tersebut, Bawaslu diberi tugas untuk menyelenggarakan pengawasan partisipatif melalui program pengawasan partisipatif. Program pengawasan partisipatif sebagaimana pasal (3) ayat (1) Perbawaslu 2 Tahun 2023 tentang Pengawasan Partisipatif meliputi : pendidikan pengawasan partisipatif, forum warga pengawaan partisipatif, pojok pengawasan, kerjasama dengan Perguruan Tinggi, kampung pengawasan partisipatif, dan komunitas digital pengawasan partisipatif.

    Pengawasan partisipatif diselenggarakan sebagai pendidikan politik, kepemiluan, dan kelembagaan pengawas pemilu dan/atau pemilihan, dan model dan metode pengawasan pemilu/ pemilihan yan efektif dan sistematis yang disesuaikan dengan kebutuhan pengawasan penyelenggaraan Pemilu dan/atau Pemilihan.

    Hadirnya Peraturan Bawaslu yang mengatur tentang pengawasan partisipatif ini memberikan harapan besar agar masyarakat dan seluruh stakeholder mengetahui dan memahami hak dan kewajibannya sehingga ikut terlibat secara aktif dalam pengawasan partisipatif seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Karena secara struktural Bawaslu dari semua tingkatan baik dari Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten Kota, pengawas adhoc Panwaslu Kecamatan, Pengawas Kelurahan/ Desa hingga Pengawas TPS memiliki keterbatasan. Oleh karena itu keterlibatan aktif seluruh lapisan masyarakat sangat diharapkan untuk mengawal proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan untuk mewujudkan pemilu dan pemilihan yang demokratis dan berintegritas. Pada akhirnya proses demokrasi ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil yang berpihak pada kepentingan rakyat. Semoga!. 
     

    Tidak ada komentar