• Breaking News

    WEBINAR PEMUDA MUHAMMADIYAH NTB; DRAJAT H. WIBOWO: PEMERINTAH JANGAN KECANDUAN UTANG

    Dok. Webinar Kegiatan PWPM NTB
    Mataram, (Zona Rakyat),- Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah NTB Gelar Webinar menggunakan aplikasi online Zoom dengan tema Negara Harus Bagimana Pasca Covid-19: Perspektif Hukum, Ekonomi Dan Pendididikan, 12/06/2020, dengan pembicara utama Dr. Refly Harun, S.H., LL.M, Dr. Drajat Wibowo, dan Dr (C) Syafril, M.Pd. 

    Muslimin Magenda Ketua Umum Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah NTB menyampaikan, dikusi daring ini merupakan bagian dari ihtiar pemuda untuk berkonstribusi untuk negara.

    "Kritik konstruktif serta pikiran-pikiran rasional yang mencerahkan adalah bagian dari dialektik intelektual untuk kemajuan negara,". Jelas Muslimin. 

    Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Dr. Refly Harun, S.H., LL.M diawal pemaparannya menyoroti ketidaksiapan pemerintah dalam penanganan Covid 19, seperti lemahnya koordinasi antara pusat dengan daerah. Menteri Kesehatan dan BNPB yang seharusya menjadi Leading sector, malah banyak kementerian lain yang mengambil peran lebih menonjol, dan terkadang memiliki agenda sendiri-sendiri di luar focus utama yang dibutuhkan rakyat.

    Refly juga menyoroti DPR dan pemerintah yang mengesahkan Perpu No 1 tahun 2020 
    yang sesungguhnya memberikan cek kosong pada pemerintah dalam mengelola uang Negara triliyunan rupiah, memberikan imunitas hukum bagi pemerintah yang melanggar hukum dengan dalih menjalankan tugas, menutup ruang untuk digugat ke PTUN terhadap kebijakan pejabat pemerintah, pengesahan UU Minerba, dan rencana pengesahan RUU Haluan Idiologi Pancasila ditengah Covid-19.

    Khusus Perpu No. 1 tahun 2020 Refly setuju untuk dilakukan Judicial Review. Akan tetapi, ia tidak yakin MK mengabulkannya. Lebih lanjut ia menyampaikan harusnya Pemerintahannya Jokowi tidak memiliki beban.

    Akan tetapi, tetapi ketika direview kembali berbagai kebijakan pemerintah yang mengesahkan UU Minerba, pengesahan UU KPK, menerbitkan Perpu covid yang meninggalkan banyak masalah, ia pesimistik pemerintah Jokowi mampu memenuhi ekspektasi public.

    Walau pesimistik, ia tetap menyimpan harapan pada pemerintahan Jokowi agar dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, dan memberikan jaminan keselamatan bagi rakyat.

    Sementara Ekonom Dr. Drajad H. Wibowo menyampaikan, selain sector lain yang terdampak, masalah pendapatan negara atau fiscal merupakan sector yang paling terdampak, terutama pajak yang anjlok. Persoalan menyelamatkan fiscal adalah masalah harus diselamatkan paling penting. Rentetan masalah fiscal ini sangat panjang.

    Dalam rangka menangani masalah fiscal tersebut, Pemerintah memang menghadapi 
    pilihan sulit antara mencetak uang atau utang. Akan tetapi, jangan sampai Negara kecanduan utang juga. Jelas Drajat Wibowo.

    Saat ini Pemerintah memiliki utang Rp. 1440 Triliyun, artinya naik empat kali lipat, itupun belum bisa mengatasi. Sehingga tabungan tabungan Negara di ambil. Solusi itu juga belum cukup, sehingga pemerintah 
    mulai memakai lagi utang multilateral sekitar Rp. 6 T sampai Rp. 7 triliyun.

    Untuk menutupi fiscal tersebut pendapatan Negara tidak bisa lagi hanya berharap pada konsumsi, karena konsumsi rumah tangga terpukul oleh sebab kehilangan pekerjaan, apalagi investasi,  epsor dan impor. Implikasi dari anjloknya fiscal tersebut menurut Drajat, terjadi devisit pembiayaan 
    diberbagi sector, termasuk, karena ada kenaikan anggaran di kemeterian Kesehatan, tetapi kenaikan itu bukan untuk penanganan Covid-19, tetapi untuk menutupi devifit BPJS, itupun pemerintah meminta BPJS mencari pada sumber lain sebanyak 3 Triliyun, sisanya mau ditutup dengan menaikkan iuran BPJS. Adapun Progrma Stimulus yang di luncurkan pemerintah sebanyak puluhan triliyunan rupiah selama ini sesungguhnya tidak seperti yang di klaim pemerintah. 

    Sementara Syafril menyampaikan dari sisi pendidikan pasca pandemi Covid-19, ia menjelaskan dikementerian Pendidikan saja masih belum jelas kapan belajar mengajar dilaksanakan tatap muka langsung akan dilaksanakan,  bahkan ketika ditanya ttg hal terkesan saling melempar tanggungjawab antara kemendikbud dgn PMK.

    Terkait dengan new normal bagi sekolah, disorot, tiga hal: Pertama, "Hendaknya pejabat publik spt Mendikbud tidak menjauh dari public, ia harus hadir untuk menerangkan scr terbuka apa maslah yg dihadapi olh negara saat bew normal dilakukan bagi sekolah. Kemarin ada taggart mhs yg mengatakan #mhsmencarinadiem. Jgn sampai ada taggar #rakyatmencarinadiem. Saat ini yang ada hanya desas-desus di media, bahwa sekolah tatap mukan akn dibukan pertengahan Juli, ada pula informasi akan dibuka awal tahun baru 2021-semua itu masih isu krn belum ada keputusan resmi. Disaat situasi politik yg tdk menentu spt ini, penyataan pemerintah melalui media tdk bs dijadikan ukuran kebenaran" Kritiknya. 

    Hal yg mesti diperhatikan olh pemerintah terkait new normal bagi sekolah adl:

    1. Fakta jumlah rombel siswa  di sekolah negeri yang mencapai lebih dari 40-an dengan luas ruang belajar kr2 80 m3. Tentu akan sulit untuk mengatur social distancing. Kalau protokol covid mau diterapkan maka harus disiapkan dua kali lipat jumlah ruangan pada setiap sekolah yg jmh rombelnya 30-an siswa ke atas. 2. Pengaturan siswa ketika pulang  sekolah. Tak ada yang bisa memastikan semua siswa akan langsung pulang ke rumahnya. Bagaimana kalau siswa tsb main ke temannya, sementara lingkungan temannya adalah tergolong zona merah covid 19?Kondisi-kondisi yang demikian, harusnya dipikirkan secara matang oleh pemerintah-kalau tdk akan ada klaster baru covid 19 yakni sekolah," ungkapnya. 3. Berapa hand sanitizer dan masker yg hrs disiapkan olh sekolah dlm menghadapi masa sekolah tatap muka sementara pandemi blm selesai? Bagi sekolah yg pembiayaannx ada mungkin mudah,  tp bagi sekolah yg jlm dana sekolahnx sedikit bahkan gak ada bgm menfasilitasi protokol covidnya? Jelas negara gak boleh abai pd realitas disparitas antara sekolah tsb. 4. Berapa lama siswa kita mampu bertahan menggunakan masker dlm kelas. Di sekolah yg disiplin sj spt Korea bs gagal dan kembali sekolah dr rumah. Apalagi Indonesia dgn varian budaya dan karakter disiplin yg beraneka ragam. Sdh pasti sulit utk menyeragamkan sikap disiplin siswa dlm hal memakai masker. Apalagi menurut keaehatan masker kain, maksimal hy 4 jam digunakan-stlh itu hrs dicuci. Hal tsb rasanya blm dipikirkan olh kemendikbud. 

    Jelasnya Kemendikbud gagap dlm menghadapi situasi sekolah diera pandemi ini. Rasanya Nadiem dipilih olh Jokowi krn memiliki kemampuan di bidang IT. Ironisnya menghadapi situasi spt saat ini Nadiem spt kehilangan daya intelektualnya.

    Solusi belajar daring yg diberikan olh pemerintah juga belajar via TVRI belum menunjukkan efektivitasnya. Masih ada siswa yg terkendala dgn kuota internet, ada siswa yg tinggal di wilayah yg tdk terakses olh internet dan bahkan listrik (era kemerdekaan mash ada rakyat yg hidup spt era penjajahan). 

    Di sisi lain Mendikbud meminta keterlibatan ortu siswa utk menfasilitasi atau membantu siswa belajar dr rumah. Mendikbud benar2 miskin profil ortu siswa. Di Indo ini mash byk ortu yg tdk berpendidikan. Meskipun berpendidikan jelas ortu tsb tdk mengerti semua ilmu pengetahuan. 

    Harusnya belajar dr rumah tdk diorientasikan utk mencapai indikator kuantitatif melainkan indikator kualitatif spt: sikap disiplin,  menghargai budaya nasional, sopan dan santun, taat beribadah, dll. Artinya lbh pd pembentukan KI 1 dan KI 3. Bukan ditekankan pd KI 2. Jls tdk akn tercapai indikatornya. 
    Harus ada juknis dan juklak sederhana yg disiapkab agr siswa dan guru py pedoman belajr yg jelas. Saat ini,  gak ada sama sekali. 

    Terakhir, Kemendikbud lagi2 mengulang prog kerja kabinet sebelumnya yakni mengubah kurikulum. Dianggap bhw maslah pendidikan kita ada pada kurikulum. 
    Maslah besarnya justru pada dua hal:
    1. Prosea rekrutmen guru/Dosen hrs dpt dipastikan tdk syarat KKN. Baik honor maupun ASN. 
    2. Pastikan tdk ada disparitas antar sekolah di daerah dgn kota terkait aksesibilita informasi dan jaringan internet. 
    Jika dua hal ini sdh selesai, mk br berbicara pengembangan kur. 

    Kurikulum merdeka belajar yg sdg dikembangkan saat ini jg potensial menghadirkan situasi belajar yg liberal. Guru diberi kebebasa utk merancang materi ajarnya sendiri. Saya khawatir materi ajarnya mengandung penyimpangan spt berita tentang yg sdh ada ttg Soal yg mengandung konten pornografi. Kalimat dlm buku teks yg menyalahi sejarah bangsa, dll. Kurikulum merdeka belajar ini potensial menghadirkan kebebasan yg melampaui batas. Dikhawatirkan justru keberadaan kurikulum merdeka belajar ini ada kaitannya dg RUU HIP yg sdg bergulir saat ini. Artinya potensial tjd liberalisasi pendidikan. Shg scr idelogis, pendidikan tdk terikat lagi dgn nilai2 pancasila.

    Solusinya, Nadiem hrs punya langkah2 yg jelas dan terarah menghadapi situasi spt ini. Spt: 
    1. buat relawan pendidikan berbasis lingkungan. Petakan lingkungan yg palingn membutuhkan relawan. 2. Buat juknis/juklak ringkas ttg belajar dr rumah dgn out utamanya ada akhlaq/karakter anak. 3. Bbrp anak yg gak py orang tua dan kesulitan jaringan komunikasi hrs dicarikan formulasinya. Apakah mrk ini yg mjd perhatian khusus relawan pendidikan.

    Inilah tugas konstitusional ketiga negara yg perlu serius direalisasikan. Jgn sampai negara justru abai pd tugas konstitusionalnya yg membuat pajak rakyat yg dibayarkan terkesan tdk terkelola dgn baik. (ZR. 01)