• Breaking News

    Money Politic itu "Teroris"


    Iwan adi Susanto, S.H
    (Penulis adalah Ketua DPC Persatuan Wartawan Repulik Indonesia (PWRI) Bima)
    Apalah arti sebuah Demokrasi, kebebasan berpolitik adalah konstitusional namun makna kebebasan dalam berpolitik itu bukanlah sebuah hal yang abstrak, kebebasan di mansut adalah mempengaruhi hak pilih orang lain dengan jalan yang diatur yaitu menawarkan fisi dan misi dalam berkampanye, tapi bukan menawarkan uang dan atau materi lainnya.
    Kendati dalam pelaksanaan pemilukada serentak beberapa bulan kemarin tidak ada praktek politik uang yang  terjerat hukum namun jauh-jauh hari Propinsi NTB masuk dalam daftar 7 daerah rawan  praktek politik uang seperti yang disampaikan oleh Komisioner Bawaslu NTB M. Khuwailid dalam portal berita Onlain RRI Mataram. 
    Berdasarkan hasil obserfasi dan wawancara  yang dilakukan oleh penulis, di kota Bima potensi politik uang syarat terjadi dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bahkan ironisnya ada klasifikasi dapil neraka dalam kompetisi perebutan kursi legislatif.
    Adalah Dapil 2, mencakupi Kecamatan Rasana’E Barat dan Kecamatan Mpunda Kota Bima, tidak tangung-tanggung, nilai tawar untuk satu suara bisa mencapai Rp.500.000 hingga Rp. 1.000.000.
    Ironis kalau ini benar terjadi, daerah akan dibawah kemana oleh calon legislatif ini apabila dia terpilih sebagai wakil rakyatnya di parlemen. 
    Jual beli suara, mengingatkan penulis pada satu peradaban di jaman jahiliyah,  dimana praktek jual beli suara sama artinya denga jual beli budak di jaman itu, budak yang terbeli tidak bisa berkehendak atas kemauan sendiri melainkan atas perintah sang majikan, mereka mengabdi dengan nyawa tidak perduli apakah majikannya dzolim atau tidak, mereka hanya menerima apa yang diberi majikan tanpa bisa menuntut lebih.
    Menerima uang mereka dan membiarkan praktek money politik samahal denga menghancurkan daerah secara massif dan terstruktur, pelaku money politik tidak ada bedanya dengan ‘Teroris’ antara keduanya berpotensi hancurkan daerah dan Negara secara massif dan terstuktur, bedanya hanya soal waktu.
    Wajar Bila Kapolda NTB Brigjen Pol Firli membentuk satgas khusus money politik, selain tidak jujur dalam berkampanye, praktek itupun akan membawa kehancuran dari berbagai sector.
    Korupsi kolusi dan nepotisme, adalah ancaman yang serius bila praktek ini kita biarkan, apa yang  bisa kita tuntut terhadap wakil rakyat yang terpilih hasil dari praktek money politik, yang ada mereka akan berpikir bagaimana cara untuk mengembalikan sejumlah uang yang telah mereka keluarkan.
    Cobahlah berpikir untuk berkorban demi generasi yang akan datang, sekarang aja telah nampak dihadapan kita dan bukan lagi rahasia bahwa masuk kerja sebagai tenaga sukarela saja sudah pakai uang, ini kekonyolan yang nyata.
    Apa yang kita lakukan hari ini adalah penentu dalam lima tahun, kalau kamu jual maka daerah akan dikelola oleh pemodal sesuka mereka dan kita pastinya mengontrak.
    Cukuplah itu jadi contoh, perilaku korupsi telah merusak sendi sendi kehidupan masyarakat yang hakikat, dimana lagi budaya gotong royong, dimana lagi budaya tengang rasa. Kini telah menjadi sejarah indah yang ada rindu bila diingat. Tapi kita tidk bisa berbuat karena yang mampu melakukan itu dan menumbuhkannya kembali adalah mereka pemimpin.
    Kenapa demikian, lewat tangung jawabnya anggota legislatif dapat melakukan inisiasi untuk mengembalikan marwah masyarakat yang sudah punah itu denga fungsinya sebagai legislasi yang sewaktu-waktu dapat mengeluarkan sebuah prodak hukum untuk mengatur dan memaksa masyarat untuk berlaku berdasarkan peraturan Daerah (perda) yang mereka buat, jangan sampai mereka hanya tau fungsi kontroling untuk menekan eksekutif dalam tawar menawar dana aspirasi.
    Lima menit, untuk lima tahun, mari kita berubah, save Kota Bima dari praktek politik uang.(*)