• Breaking News

    MENYOAL PENEGAKKAN HUKUM

    Syahrullah
    (Dosen STIH Muhammadiyah Bima)
    Penegakan hukum akhir-akhir ini kembali digaungkan oleh berbagai komponen masyarakat. Sebut saja Kelompok yang menamakan diri Forum Peduli Bima (FPB)  yang menuntut diadilinya pelaku penganiaya dan penginjak Bendera Merah Putih saat aksi mereka di depan kediaman Walikota Bima pekan lalu.

    Sebelumnya, kelompok Advokad melaporkan  wakil ketua Dewan ke Polres Bima Kota, karena  diduga melanggar protocol kesehatan Covid-19 dan PSBK Kota Bima saat melaksanakan akad nikah anaknya. 
    Di Tingkat pusat orang mempertanyakan bebasnya Nasaruddin karena mendapat remisi.
    Terus apa gerangan pelaksanaan penegakan hokum di negeri ini semestinya dijalankan? Bagaimana konsep nya penegakan hokum itu sebenarnya ? mampukah hukum itu ditegakkan di Negara tercinta ini yang nota benenya, Negara yang begitu luas, terdiri dari beribu-ribu pulau dan jumlah penduduk yang nomor empat dunia? Banyak lagi pertanyaan berkecamuk dibenak kita yang mesti kita jawab, dalam menyoal penegakan hukum.
    Misi Utama Penegakan Hukum
    Ideal nya penegakan hukum seharusnya dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat, yang merupakan misi utama dari penegakan hukum.

    Penegakan hukum sekaligus juga merupakan tujuan dari hukum yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang memelihara kepentingan umum,  yang menjaga hak-hak asasi manusia dan juga menciptakan suatu kehidupan bersama yang adil dan tidak diskriminatif. 
    Penegakan hukum harus mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Permasalahannya adalah masih belum ada alat ukur  yang digunakan untuk menyatakan bahwa rasa keadilan masyarakat telah terpenuhi.
    Pentingnya memberi perhatian terhadap persoalan penegakan hukum (law enforcing) dihubungkan  dengan keadilan pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie (2008: 202-203) menggambarkan teori fiktie  yang dianut di Indonesia.
    Jimly menguraikan bahwa, Indonesia sebagai negara yang menganut sistem civil law, seringkali secara serta merta menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim digunakan dalam sistem civil law yaitu berlakunya teori fiktie. Berdasarkan teori ini semua orang dianggap tahu tentang hukum dan atau peraturan perundang- undangan sejak norma tersebut ditetapkan dan diundangkan. 
    Dengan demikian norma tersebut  mempunyai kekuatan berlaku pada semua orang  dalam wilayah  hukum suatu negara. Ketidaktahuan seseorang terkait adanya Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang lain tidak dapat membebaskan orang tersebut dari tuntutan hukum. 

    Berdasarkan teori fiktie, maka seorang buta huruf, orang miskin,  terpencil di pulau-pulau kecil, terluar, suku-suku di pedalaman di seluruh wilayah Nusantara sesuai dengan prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law), harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang yang cukup terpelajar, kaya dan tinggal di kota besar. 
    Penerapan teori fiktie tidak akan menimbulkan persoalan di negara- negara maju, apalagi wilayah negaranya kecil, tingkat kesejahteraan dan pengetahuan maupun pendidikan masyarakatnya cukup baik dan merata karena dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. 
    Berbeda hal nya dengan Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas, jumlah penduduk yang begitu banyak ditambah dengan masih tingginya penduduk yang miskin, terbelakang dan kondisi kesejahteraan serta pendidikannya rendah sehingga sistem informasi yang tersedia tidak bersifat simetris. 
    Artinya tentu tidak adil kalau memaksa semua orang harus mengetahui adanya norma hukum yang sama sekali tidak dimengerti oleh mereka. 
    Selanjutnya menurut Jimly Asshiddiqie, dengan fakta yang seperti itu maka disamping adanya pembuatan hukum (law making), dan penegakan hukum (law enforcing) diperlukan pula kegiatan yaitu pemasyarakatan hukum (law socialization). 
    Kegiatan sosialisasi in tidak boleh diabaikan, karena pemasyarakatan hukum merupakan kunci dari tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari hak dan kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh. 
    Melalui penegakan hukum diharapkan tuntutan pemenuhan rasa keadilan masyarakat dapat direalisasikan. Menurut Satya Arinanto,(2001:340), ketika  masyarakat di satu sisi menghendaki terealisasikannya rasa keadilan, namun dalam realitanya ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas.
    Oleh karenanya untuk dapat mewujudkan rasa  keadilan dimaksud, menurut Satya Arinanto seharusnya sesuai dengan Teori dari John Rawls yaitu justice as a fairness.
    Inti teori Rawls adalah  satu,  Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
    Kedua, kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
    Ketiga, kesetaraan kesempatan untuk kejujuran,  dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
    Berdasarkan pada hal-hal tersebut maka Rawls mengemukakan 3 (tiga) prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni: (a) Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle); (b) Prinsip perbedaan (differences principle); (c)  Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).
    Jalan Panjang Penegakan Hukum

    Penegakan hukum tidak semudah yang kita kira. Ketika kita melapor suatu kasus pidana misalnya, tidak serta merta tuntas, putus, semudah kita membuka  facebook, segampang kita membuat adonan roti atau menghitung jumlah barang dagangan.
    Sistem hokum kita serperti di atas adalah system eropah continental. Jalannya peradilan itu panjang. Mulai dari polisi, Kejaksaan, Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi lalu Mahkamah Agung. Butuh waktu bertahun-tahun. Demikian juga kasus perdata. Bahkan lebih lama lagi. Jangan heran penunpukan perkara di Mahkamah Agung sampai pulah ribu kasus.
    Fenomena ini Pak Satjipto Rahardjo (2003) sampai berkesimpulan bahwa orang mengajukan perkara ke Pengadilan tidak hanya karena pertimbangan etis-moral semata, melainkan juga kepentingan ekonomi dan politik. Tidak menutup kemungkinan para penegak hukum terpeleset dan terjerumus ke dalam praktek-praktek manipulasi kepentingan. Di sini perjalanan hukum itu berubah menjajadi komoditas bisnis. Pada etape ini para penegak hukum dan konsumen hukum tak dapat mengelak dari tarikan ekonomi terhadap hukum.
    Dengan demikian, dapatlah dikatakan di dunia ini hampir tidak ada hukum yang bekerja dalam lingkungan yang sama sekali tertib, sama sekali  adil . Persoalan penegakan hukum tetap menjadi persoalan. (*)